Langsung ke konten utama

Api Perlawanan dari Pesantren

 

Foto: Kiai Sa’doellah

Sumber: https://web.facebook.com/SidogiriPenerbit

 

Sebelum dan sesudah proklamasi Kemerdekaan RI 1945, pesantren menjadi sentra perlawanan terhadap penjajah. Banyak pesantren yang mengobarkan api perlawanan terhadap penjajah baik terhadap Jepang dan Belanda. Di antaranya yang disebut di sini yaitu Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Sidogiri Pasuruan. Dari Pesantren Tebuireng Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim As'ari mengobarkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah Jepang. Akibat perlawanannya itu, beliau ditankap dan disiksa oleh tentara Jepang. Dari Pesantren Sidogiri ada dua tokoh penting yang mengobarkan api perlawanan terhadap penjajah Belanda yaitu Kiai Sa'doelloh Nawawi dan Kiai Haji Abdul Djalil bin Fadhil.

Kiai Sa'doellah turun langsung ke medan laga peperangan. Beliau mengangkat senjata melawan Belanda dengan menggunakan taktik perang gerilya. Sebagai komandan pasukan Hisbullah, beliau mengorganisir penyerangan terhadap Belanda di berbagai tempat di Pasuruan. Salah satunya, beliau dan pasukannya melakukan serangan gerilya terhadap pasukan Belanda yang melintas di desa Pelinggisan Kraton Pasuruan. 

Taktik perang gerilya yang dilancarkan Kiai Sa'doellah dan pasukannya sangat merepotkan Belanda. Terlebih lagi, serangan perang gerilya itu sangat merugikan Belanda baik secara personil maupun persenjataan. Tidak sedikit pasukan Belanda yang menjadi korban. Begitupula, persenjataan Belanda banyak yang direbut oleh gerilyawan Hisbullah pimpinan Kiai Sa'doellah.

Oleh karena itu, Belanda menempuh berbagai cara untuk memadamkan api perlawanan pejuang dari pesantren termasuk perlawanan gerilyawan Hisbulloh yang dimotori oleh Kiai Sa'doellah. Untuk mengorek informasi tentang Kiai Sa’doellah dan pasukannya, Belanda melibatkan mata-mata atau kaki tangan Belanda yang berasal dari penduduk lokal yang oleh warga disebut “Londo ireng”. Mereka ditugaskan untuk mencari informasi keberadaan Kiai Sa'doellah. Dari mata-mata lokal itulah akhirnya pihak Belanda tahu keberadaan Kiai Sa',doellah yang tinggal di Pesantren Sidogiri.

Berdasarkan sumber resmi Pesantren Sidogiri disebutkan, setelah mengetahui keberadaan Kiai Sa’doellah, Belanda menjadi marah dan mengirimkan tentara dengan jumlah besar untuk mengepung Sidogiri dengan target utama menangkap Kiai Sa’doellah. Saat itu keadaan benar-benar menegangkan. KA. Sa’doellah meminta agar Kiai Djalil mengungsi, namun Kiai Djalil menolak,

“Saya sudah tua, tidak bisa menggalang kekuatan lagi, tidak ada alasan bagi saya untuk hijrah, sampean saja cepat hijrah. Sampean bisa menggalang kekuatan,” kata Kiai Djalil sebagaimana ditulis oleh situs sidogiri.net. Akhirnya KA. Sa’doellah mengungsi ke desa Areng-areng.

Hari Kamis tanggal 10 bulan Dzul Qodah 1366 H./26 September 1947 M. pukul 03.30 dini hari, serdadu Belanda sampai di Sidogiri dan langsung mengepung rapat pondok tua ini. Pasukan Hizbullah sempat melakukan perlawanan dan terlibat baku tembak. Saat hampir Subuh Belanda berhasil menerobos masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri dan mendatangi Kiai Djalil yang saat itu bersama para pengawalnya. Belanda menanyakan di mana Kiai Sa’doellah. “Saya tidak tahu! Di sini saya hanya diserahi untuk mengajar santri,” jawab Kiai Djalil mantap.

Penasaran, pasukan Belanda memaksa Kiai Djalil ikut dijadikan tawanan. Kiai menolak, tidak mau mengikuti ajakan mereka. Terjadi perdebatan sengit kemudian. Karena sudah masuk waktu Subuh Kiai ingin mengatakan masih ingin salat Subuh terlebih dahulu. Selesai salat, Kiai langsung menuju halaman di sana tentara Belanda telah menunggu. Kiai Djalil keluar dari Masjid dengan membawa buntalan yang berisi al-Qur’an dan Kitab. Melihat Kiai Djalil membawa buntalan, Belanda memaksa agar menyerahkan buntalan itu, sebab Belanda curiga yang dibawa Kiai Djalil adalah Dokumen penting milik Kiai Sa’doellah. “Jangan sentuh buntalan itu! Kamu najis memegangnya.” bentak Kiai Djalil garang.

Kiai Djalil memang mempunyai firasat tidak enak pada Belanda. Bahkan Kiai pernah bilang. “Le’ londo mlebbu, Islam payah (Kalau Belanda sampai masuk ke sini, Islam payah)”. Sehingga beliau sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam beliau menyelinapkan keris di balik bajunya. Ketika Belanda dengan paksa merampas buntalan yang berisi Al-Quran dan Kitab itu, Kiai Djalil marah dan melakukan perlawanan.

Maka terjadilah pertempuran tidak seimbang antara Kiai Djalil yang ditemani beberapa santri yang menjadi pengawalnya melawan Belanda yang jumlahnya banyak dan bersenjata lengkap. Beberapa serdadu Belanda tewas tersungkur. Tapi tidak lama berselang, semua pengawal Kiai Djalil gugur tertembak.

Belanda sendiri kewalahan menghadapi Kiai Djalil yang ternyata tidak mempan ditembak, meskipun diberondong. Sampai akhirnya, dengan kemarahan yang sangat memuncak, mereka berhasil menangkap Kiai Djalil dan dengan beringas menembakkan peluru ke mulut beliau. Dor…! Dor…! Dor…! Suara tembakan terdengar sampai puluhan kali. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau akhirnya gugur sebagai syahid.

Kekejaman Belanda tidak cukup di situ. Jenazah Kiai Djalil diseret dan dibuang di sungai Sidogiri sebelah barat. Konon, tetesan darah Kiai membuat air sungai saat itu menjadi harum semerbak. Jenazah Kiai Djalil ini baru ditemukan sekitar jam 09.00 oleh khadam beliau bernama Dlofir (Sukorejo Situbondo).

Kiai Djalil wafat tepat pada hari Kamis tanggal 10 Dzul Qodah 1366 H atau 26 September 1947 M sekitar pukul 06.00 pagi hari. Beliau dimakamkan di areal pemakaman keluarga Sidogiri. Sedangkan beberapa orang pengawal beliau dimakamkan di samping Masjid bagian utara (dekat jeding Masjid).

Kiai Djalil adalah satu dari sekian ribu ulama yang menjadi korban kebiadaban Belanda. Di sini, kiranya penting kita kutip pernyataan jujur seorang jenderal Belanda yang memimpin agresi tersebut. “Andaikan tidak ada ulama-ulama atau kiai-kiai kolot dan ortodoks (baca: Pesantren), Negara Indonesia tidak mungkin meraih kemerdekaan.”

Mokh. Syaiful Bakhri & sidogiri.net

 

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.