Langsung ke konten utama

Menjaga Perasaan Orang Lain Agar Tak Tersinggung



Saya takjub mengetahui kisah betapa lembutnya hati Almaghfurlah Syaikh Maulana Muhammad Said, pengasuh Majlis Taklim Nurul Jannah Sindangkarsa, Cimanggis, Bogor . Santri-santrinya biasa memanggilnya "Romo Kiai Said". Suatu ketika beliau ke pasar Cisalak Bogor untuk membeli buah jeruk. Beliau mengajak salah seorang santrinya bernama Ruslan.

Dengan mengendarai mobil colt tua keduanya berangkat ke Pasar Cisalak. Sesampainya di lapak salah seorang pedagang jeruk, tanpa disuruh Ruslan mencicipi salah satu buah jeruk yang hendak dibeli oleh Romo Kiai Said. Maklumlah, dia sudah kenal dan akrab dengan pedagang jeruk di sana. Saat mencicipi salah satu jeruk, sambil memicingkan mata Ruslan berbisik kepada Romo Kiai Said: "Jeruknya rasanya masam!".

Apa yang dilakukan oleh Romo Kiai Said setelah mendapat informasi “jeruknya masam” betul-betul di luar dugaan Ruslan. Maksud Ruslan memberi tahu bahwa rasa jeruk itu masam supaya beliau tidak membelinya. Malah sebaliknya, apa yang lakukan oleh Romo Kiai Said diluar dugaan Ruslan. Beliau malah memborong seluruh jeruk yang dijual oleh pedagang itu meski dikatakan masam oleh santrinya.

Ruslan hanya diam seribu bahasa dan manut saja saat diminta untuk memasukkan jeruk yang diborong oleh Romo Kiai Said itu ke dalam mobil.  Dalam perjalanan pulang dari pasar Cisalak menuju ke Majlis Taklim Nurul Jannah di Sindangkarsa, Romo Kiai Said menyampaikan dawuh kenapa memborong seluruh jeruk itu.

"Setiap pedagang pasti mengharapkan dagangannya laku, termasuk penjual jeruk tadi. Apabila ucapanmu bahwa jeruk yang dijual pedagang itu masam lalu didengar oleh orang lain di pasar itu, maka jeruk yang dijual oleh pedagang itu tidak akan laku. Kasihan pedagang itu kalau jeruknya tidak laku," kata beliau.

Ruslan yang menjadi driver  hanya mengangguk-angguk saja mendengar beliau menyampaikan dawuh itu. "Sekiranya memang rasa jeruk itu masam, nanti bisa dibuat wedang atau es jeruk untuk para santri," imbuh beliau.

Kisah tentang kelembutan hati Romo Kiai Said yang sangat hati-hati menjaga perasaan penjual jeruk ini mengingatkan pada bagaimana kelembutan hati Rasulullah dalam menjaga perasaan seorang petani yang memberinya sekantong anggur.

Suatu ketika di tengah sengatan terik sinar matahari, Rasulullah SAW duduk bersama dengan para sahabatnya. Datanglah seorang petani dengan membawa sekantung anggur.  “Wahai Rasulullah,” katanya, “terimalah pemberianku yang tidak seberapa ini. Aku membawanya dari kebun tempatku bekerja.”

Dengan senang hati Rasulullah menerima pemberian buah anggur itu. Kemudian beliau menikmati butir demi butir buah anggur pemberian itu. Setiap memakannya, wajah Rasulullah SAW tampak berbinar. Bibirnya juga tersenyum. Melihatnya, petani itu menjadi sangat senang. Apalagi, beliau menghabiskan seluruh anggur pemberiannya tanpa sisa.

Petani yang memberi anggur itu merasa bahagia karena melihat Rasulullah SAW dengan lahap menghabiskan hadiahnya. Ia berpikir, anggur itu pastilah terasa sangat nikmat. Begitu enaknya, sampai-sampai beliau “lupa” untuk menawarkan buah tersebut kepada para sahabatnya.

Namun para sahabat yang sejak dari tadi menyaksikan beliau menikmati seorang diri dan berharap diberi buah anggur itu merasa heran. Baru kali ini Rasulullah SAW menghabiskan sendirian makanan pemberian orang lain tanpa membagikannya kepada para sahabatnya.


“Ya Rasulullah,” kata salah seorang sahabtnya memberanikan diri, “mengapa engkau makan sendirian buah anggur tadi? Mengapa engkau sama sekali tidak menawarkannya kepada kami?”

 

Rasulullah SAW tersenyum. Beliau lalu menjelaskan kepada mereka, “Aku memakan semuanya karena anggur-anggur itu terasa masam. Jika menawarkannya kepada kalian, aku khawatir nanti wajah kalian akan menunjukkan kesan tidak suka. Bila sampai begitu, tentu perasaan lelaki tadi akan tersinggung.”

Dari dua kisah teladan tersebut ada beberapa hal yang dapat kita petik hikmahnya. Pertama, bagaimana kita belajar menjaga ucapan, sikap dan perilaku kita agar jangan sampai menyinggung perasaan orang lain.

Kedua, memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak mencela makanan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, diterangkan bahwa Rasulullah tidak pernah satu kali pun mencela makanan. Jika suka, beliau akan memakannya. Bila tidak suka, sajian itu tidak dicicipinya.

Rasulullah SAW pun mengonsumsi apa saja yang disediakan untuknya selama itu halal dan baik. Dalam sebuah riwayat, Jabir berkata, Rasulullah SAW pernah menanyakan lauk pauk kepada keluarganya, tetapi mereka menjawab, ‘Kami hanya mempunyai cuka.’ Lantas, beliau memintanya dan makan dengannya seraya bersabda, ‘Lauk yang paling lezat adalah cuka, lauk yang paling lezat adalah cuka.’

Oleh Mokh. Syaiful Bakhri (Guru Sosiologi SMAN 1 Gondangwetan)

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.