Langsung ke konten utama

Lima Ciri Khas Pesantren Mandiri

 


Setahun yang lalu Kementrian Agama (Kemenag) meluncurkan “Peta Jalan Kemandirian Pesantren” dan menetapkan sembilan pesantren sebagai pilot project. Ksembilan pesantren tersebut yaitu Pesantren As'adiyah Kalimantan Utara, Pesantren Nahdlatul Ulum Maros Sulawesi Selatan, Pesantren Dayah Darul Atiq NAD, Pesantren Qomarul Huda NTB, Pesantren Al Imdad Yogyakarta, Pesantren At Tahdzib Jawa Timur, Pesantren Tarbiyatul Banin Cirebon, Pesantren Al Amin Riau dan Pesantren Raudatul Mubtadiin Jawa Tengah.

Yaqut Cholil Qoumas, selaku Kemenag pada situs resmi Kemenag menyatakan, ada tiga alasan utama di balik ikhtiar untuk memandirikan pesantren. Pertama, pesantren merupakan pusat pendidikan yang bisa bertahan selama bertahun-tahun lamnya, dan memiliki SDM yang melimpah dan berpotensi menjadi SDM yang unggul.

Kedua, pesantren dan masyarakat yang ada sekitarnya memiliki sumber daya ekonomi yang bila dikelola dengan baik dapat menjadi potensi ekonomi yang berkelanjutan.  Ketiga, memiliki jejaring antar pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia yang terbentuk relasi guru-murid (alumni), maupun dari sanad keilmuan. Jaringan antar pesantren ini merupakan foktor potensial bagi pengembangan ekonomi umat dan sinergi ekonomi antar pesantren bisa menjadi kekuatan yang dapat menopang perekonomian bangsa.

Ikhtiar Kemenag untuk memandirikan pesantren yang digagas oleh Kemenag itu tentu saja sangat baik. Namun juga mengesankan bahwa pesantren itu masih belum mandiri sehingga perlu diupayakan kemandiriannya. Benarkah pesantren itu belum mandiri dan perlu diupayakan kemandiriaannya oleh Pemerintah dalam hal ini Kemenang? Tentu saja tidak semua pesantren belum mandiri. Sembilan pesantren yang menjadi pilot project Kemenag tersebut kemungkinan memang masih belum mandiri versi Kemenag sehingga masih perlu untuk dimandirikan.

Bagaimanakah ciri khas pesantren yang mandiri itu? Tulisan ini mencoba menyusun lima ciri khas pesantren mandiri yang dirangkum dari hasil hasil wawancara dengan beberapa pihak di antaranya dengan Pengurus Kopontren Sidogiri, Pengelola BMT UGT Nusantara dan Pengurus Pondok Pesantren Sidogiri.

Pesantren yang mandiri itu setidak-tidaknya memiliki lima ciri khas. Di antaranya yaitu  mampu mengelola finansialnya secara mandiri, mampu memenuhi kebutuhan pokok atau primer para santri, mampu memproduksi sendiri berbagai kebutuhan yang dibutuhkan oleh para santri, merdeka dalam menentukan kurikulumnya dan tidak meminta bantuan pihak lain dalam membangun pesantren.

Ciri pertama pesantren yang mandiri itu mampu mengelola finansialnya mulai dari saat santri mendaftar sampai boyong. Pada pesantren yang demikian itu, pengelolaan keuangan bisa ditangani sendiri. Malah, pada pesantren tertentu, pengelolaan keuangannya sudah menggunakan aplikasi digital menggunakan e-money. Wali santri yang mau mengirim dana kepada putranya yang mondok cukup dengan menggunakan aplikasi tersebut yang dapat diakses melalui smart phone atau HP pintar.

Contohnya Kopontren Sidogiri yang telah mengembangkan kartu e-maal yang dapat digunakan baik oleh wali santri maupun santri. Wali santri cukup kirim dana melalui e-maal kepada putranya yang mondok. Begitupula, santri dan masyarakat bisa berbelanja di Toko Basmalah milik Kopontren Sidogiri cukup dengan gesek e-maal sehingga tidak perlu bawa uang saat belanja. Contoh lainnya, Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini yang telah mengembangkan aplikasi Al YasiniQu. Melalui aplikasi ini orang tua dapat mengirim dana kepada anaknya yang mondok dan daapat memantau belanja hariannya di pesantren.

Kemudian ciri kedua adalah mampu memenuhi kebutuhan pokok santri seperti makanan, minuman dan pakaian. Pesantren yang mandiri itu mampu memenuhi kebutuhan pokok atau primer para santri. Makanan, minuman,dan tempat tinggal santri dipenuhi secara mandiri oleh pesantren. Untuk santri Pondok Pesantren Sidogiri kebutuhan pokok mereka dipenuhi oleh Kopontren Sidogiri, sedangkan untuk Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini dipenuhi oleh Kopontren Al-Yasini.

Ciri ketiga yaitu mampu memproduksi kebutuhan pokoknya sendiri sehingga pesantren itu bukan hanya menjadi konsumen namun sudah bisa menjadi produsen barang-barang yang dibutuhkan oleh para santri. Pemrov Jatim mengeluarkan program OPOP atau one pesantren one product. Program ini sangat baik dan bermanfaat bagi pesantren yang didorong untuk mengeluarkan produk sendiri.

Sedangkan ciri keempat yaitu mampu mengelola dan menentukan kurikulum pendidikan bagi para santri secara mandiri dengan bebas merdeka. Seiring dengan program pemerintah mengeluarkan program pendidikan bernama “Merdeka Belajar”. Kampus Merdeka di mana mahasiswa diperkenankan belajar di kampus lain sesuai minat belajarnya.

Pada pesantren yang mandiri, itu mampu menentukan kurikulum pendidikannya untuk kemaslahatan para santrinya agar berguna kelak di tengah-tengah masyarakat. Belum dikatakan mandiri namanya, jika kurikulumnya masih diatur oleh pihak lain, sehingga pesantren tidak bebas memasukkan atau menentukan sendiri arah pendidikan para santrinya.

Pondok Pesantren Sidogiri (PPS), misalnya, mandiri secara kelembagaan karena tidak berafiliasi dengan lembaga pendidikan manapun. Manajemen dibangun atas usaha mandiri PPS dan tidak bergantung kepada orang lain. Standar kurikulum disahkan oleh Pengasuh dan Majelis Keluarga PPS didasarkan pada kebutuhan perjuangan PPS.  Ketenagaan PPS memiliki standar sendiri berdasarkan kebutuhan pendidikan dan pengajaran di PPS. Kebutuhan dana di PPS bersumber dari santri/wali santri, usaha mandiri PPS melalui kegiatan ekonomi pesantren dan sumbangan dari alumni dan simpatisan yang tidak mengikat dan halal.

Ciri kelima sebagai karakteristik khas dari pesantren yang mandiri yaitu tidak meminta bantuan dari pihak lain untuk membangun pesantren. Salah satu ciri khas pesantren yang mandiri itu mampu membiayai operasionalnya sendiri sehingga tidak meminta bantuan dari pihak lain untuk membangun gedung-gedung yang ada di dalam pesantren.

Yang demikian itu, karena pesantren yang mandiri itu memiliki sistem pengelolaan keuangan yang terintegrasi dan dikelola dengan baik.Sehingga pesantren yang demikian itu mampu membangun gedung-gedungnya sendiri tanpa berhutang ataupun minta  bantuan dari pihak lain.


Oleh Mokh. Syaiful Bakhri (Guru Sosiologi SMAN 1 Gondangwetan)

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.